Pambukaning Atur

Sugeng Rawuh, lan Sugeng Maos,

Blog menika kaserat kagem sinau nyerat ing Basa Jawi. Temtu kemawon taksih kathah kekirangannipun. Pamanggih pamiarsa sanget kula betahaken, pramila sumangga kersaa paring pamrayogi ing komentar.

Maturnuwun

Senin, 25 November 2013

Cerak "Tabah"



“ Nderek langkung mbok ?” sapaku kepada Mbok Kasiem ketika jalan kaki untuk pulang.
“ We, nak Tabah to rupanya? Baru pulang nak ? gimana kabarnya ?” sapa Mbok Kasiem yang terkejut melihat kedatanganku.
“ Baik mbok, gimana kabar keluarga juga baik to ?” sapaku kembali.
“baik nak, oalah sekarang udah jadi orang e, pangling aku” tutur Mbok Kasiem melihatku.
“alhamdulilah mbok, mari mbok mau pulang dulu”
            Keringatku menetes begitu deras, dengan meneteng tas ransel dan juga kardus. Dengan hati yang sabar, aku meneruskan perjalanan untuk pulang ke rumah. Sekitar 500 meter jarak rumahku dengan jalan raya. Terik matahari yang sudah tidak begitu panas, membuatku ingin segera tiba di rumah.
Suasana kampung halaman yang tidak banyak berubah pikirku dalam hati. Kampung yang nyaman, teduh, banyak pepohonan yang rindang. Di tepi tepi jalan banyak sekali dedaunan kering yang jatuh. Rumputan yang banyak tumbuh dimana-mana. Tak terasa sekitar  delapan menit kemudian tibalah aku di rumah.
“Assalamualaikum” sapa ku di depan rumah.
“tok.. tok.. tok” ku ketuk pintu rumahku namun rupannya tidak ada yang menjawab kedatanganku. Pintunyapun dikunci. Segeralah aku duduk di teras depan rumah untuk menunggu anggota keluargaku yang pulang.
Sedikit berbeda keadaan rumahku pikirku dalam hati. Tembok rumah yang dahulu masih berbata merah, sekarang sudah dilapisi dan di cat hijau. Pintu rumah yang masih sama seperti dulu. Burung peliharaan yang berkicau masih seperti dulu. aku sangat rindu pada kampungku terutama kepada kedua orang tuaku dan juga adik perempuanku Anis.  Hari ini begitu lelah sekali. Perjalanan sekitar 9 jam dari kota ke desaku. Aku coba untuk memejamkan mataku sebentar untuk menghilangkan rasa lelah.
Sekitar satu jam kemudian, aku terbangun karena terdengar adzan Magrib yang berkumandang. Namun hingga saat itu keluargaku belum ada yang pulang juga. Resah, dimana mereka hingga petang belum pulang juga. Aku coba untuk bersabar menunggu mereka datang. Tak lama kemudian terdengar suara motor yang menuju kea rah rumahnya. Rupanya mereka pulang. Segera aku berdiri dan menyambut mereka.
            Terlihat sepintas bahwa ibuku tidak mengenali aku. Namun setelah Bapak menyetandartkan motor, ibuku segera menemui ku dan mengenaliku.
“Oalah thole pake…” ibukku lari menemuiku dan segera memelukku.
“Ibuk pripun, sae to ?” sapaku kembali kepada ibuku. Bapak dan juga adikku segera datang dan peluk kangen kepadaku. Segeralah mereka membuka pintu dan aku masuk ke dalam rumah sederhanaku. Kemudian aku duduk di kursi tamu bersama bapak dan juga Anis.
“Mas.. Mas.. kok pulang nggak ngomong – ngomong?” Tanya Anis kepadaku.
“yee,,emang pulang harus ngomong dulu ?” jawabku kembali kepada adikku dengan nada yang agak sembrono.
“Gimana le kabarnya ? rak yo baik to ? kerjamu gimana ?” Tanya bapak yang memotong pembicaraanku dengan Anis.
“Baik pak, tapi ya cuma bisa seperti ini saja.” jawabku.
“Oalah le, wes alhamdulilah banget, koe bisa kerja sing kepenak, duit le mu ngenehi kae, tak pake buat ndandani omah”, Bapak menjawab lagi.
“Injih pake, mboten nopo – nopo kersanipun bapak mawon, saya juga ikut seneng kok”, jawabku lagi.
Tak lama kemudian Ibuku datang dengan membawakan secangkir teh hangat untuk ku. Kangen sekali rasanya telah 5 tahun tidak minum teh buatan ibuku. Yah, terasa nikmat sekali rasanya ketika kembali menyantap minuman ini.
“Mbokyo, ntar lagi pak, ben tole mandi-mandi, solat dulu” seru ibuku terhadap kami.
Selanjutnya aku masuk kedalam kamarku, yang telah lama pula aku tinggalkan. Masih sama seperti dulu, almari yang bersebelahan dengan jendela dan meja kecil yang sersandingan dengan tempat tidurku yang berukuran kecil. Aku coba untuk berbaring sejenak mengenang masa ketika aku masih berumur lulusan SMA.
“Le, wis tak godhogke wedang le, mandio dulu !” seru ibuku kembali menyuruhku untuk membersihkan badan.
Aku putuskan untuk membersihkan badan dahulu kemudian sholat magrib. Air di rumahku sangat dingin sekali, sehingga keluargaku menggunakan air hangat untuk membersihkan diri. Suasana dalam rumah yang berbeda dengan dulu. Sekarang lebih bagus, dan nyaman. Dulu yang sering bocor ketika hujan, sepertinyapun sekarang sudah dibenai bapak. Syukurlah aku ikut seneng dengan keadaan ini. Setelah sholat selesai rasanya sudah tak sabar lagi aku ingin segera melepaskan rasa lelahku kembali berbaring di kasur hangatku. namun sepertinya ibu sudah menyiapkan makanan untuk makan malam keluargaku.
“Mas, mas Tabah ?” panggil adikku yang masuk ke kamarku.
“ iya nduk nis, sini mas kangen je !” seruku menjawab pertanyaan adikku.
“hehe, mas ayo makan dulu ibuk sudah bikin sayur lho..” jawab adikku kembali.
“iya po nduk, ya wes yok maem dulu aja?” seruku sambil bangun untuk segera makan.
Aku segera melangkahkan kakiku untuk mendekati meja makan. Tak lupa aku dengan kardusku yang telah ku isi dengan makanan kecil, aku serahkan kepada ibuku. Ibuku senang rupanya melihat aku yang sudah berbeda dengan yang dulu.
“ buk, ini makanan kecil sedikit, buka aja bu” seruku kepada ibuku.
“ apa to le iki, walah le abot-abot kok ndandak gowo barang?” jawab ibuku.
“namung sekedik kok bu” jawabku kembali.
            “ nduk tulung abilkan gunting go bukak iki !” seru ibuku kepada Anis.
Ibuku membuka kardus yang ku bawa, kemudian memanggil bapak supaya lekas menuju ruang makan untuk makan dan memperlihatkan apa yang aku bawa. Bapakku senang melihat makanan yang belum pernah ia makan. Berbeda dengan makanan di kampung ini. Sebakul nasi, lauk pauk seperti tempe goreng, bakmi, dan sambal sudah tersaji di atas meja. Ada sayur pula sayur lodeh. Sangat kangen aku dengan masakan buatan ibuku. lama sekali aku tidak pulang. Kemudian kami menyantap hidangan ibuku malam itu. Sambil makan malam kami berbincang bincang.
“bu, kok lengkap ini?” tanyaku sambil bergurau.
“o.. iki ki lauke bekas tadi siang le, le ngasih tetangga arep nikahan, lha yo le ku nyumbang tadi sore itu le” jawab ibuku.
“ O, lha yang nikah siapa bu?” tanyaku penuh penasaran.
“putrane pak Slamet le, sek wedok ngarep dewe” jawab ibuku kembali
“O yang Krisna itu pa ya bu?” aku coba menebak.
“ Iyo le, sesok melu wae yo ngan terin ibuk kesana lagi, aku disuruh rewang e yoan” suruh ibuku kepadaku.
Malam itu aku berbincang bincang dengan keluargaku. Sebenarnya aku lelah sekali, namun rasa kangenku terhadap keluargaku juga lebih tinggi rupanya. Aku putuskan untuk ke meja tamu lagi bersama bapak dan juga Anis. Ibu membawakan makanan kecilyang aku bawa tadi ke meja tamu, untuk camilan malam itu. Tak terasa jam dinging sudah menunjukkan jarum sembilan malam. Ibuku menyuruhku untuk segera sholat kemudian istirahat.
“Le, istirahat dulu sana, capek to ?”
“iya bu, sebentar lagi” jawabku.
“durung ngisak juga to le?” Tanya ibuku.
“belum bu, iya tak ngisak dulu ya pak, Anis ayo sholat dulu nduk” jawabku.
“yo kono, gek leren-leren sikek le!” jawab bapakku.
Selanjutnya aku sholat bersama Anis, kemudian aku masuk ke kamar. Aku berbaring lagi, rupanya malam itu aku agak sedikit susah tidur. Entah kenapa, apa mungkin karena tempat tidurku yang berbeda dengan biasanya. Ya, itu juga sedikit faktornya. Aku teringat pada teman-temanku di kampong. kira-kira kemana mereka, sudah seperti apa dan jadi apa. Aki ingin sekali bertemu dengan mereka. Aku tertidur dengan sendirinya.
Tak terasa pula hari telah pagi. Hari itu hari minggu. Aku segera bangun dan sepertinya aku akan menantarkan ibuku ke resepsi tetanggaku. Aku bersama ibuku pergi ke resepsi dengan mengendarai  sepeda motor satu-satunya milik keluargaku. Asapnya tebal, berbada dengan motor-motor jaman sekarang. Ingin rasanya aku membelikan sepeda motor untuk bapakku.
Setibanya aku di tempat tetanggaku. Ibuku memilih untuk pergi ke dalam rumah, membereskan urusan bagian dapur. Sedangkan aku memilih untuk duduk di kursi tamu di luar. Aku masuk namun, aku tak melihat satupun temanku dulu.
“we nak Tabah to, kapan pulangnya nak ?” Sapa Bu Karsi tetanggaku.
“iya bu, kemarin sore bu” jawabku.
Kemudian aku disapa dengan hangat oleh orang-orang yang mengenaliku disana. Yah, disini aku berharap bertemu dengan teman tebayaku dahulu.
Tak lama kemudian aku sepertinya melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan Lastri. Lastri adalah orang yang pernah mencintaiku dan kucintai. Tapi kenapa raut mukanya sudah sedikit tua. Ah bukan, mungkin dia bukan lastri pikirku. Kalaupun iya pasti dia akan menyapaku dan tak sekeriput itu. Mungkin dia saudaranya Lastri atau siapalah. Tetapi, kenapa ia ada disini dan sepertinya ia adalah anggota keluarga dari manten. Aku pikir- pikir siapa dia sebenarnya.
Minuman dan snack dikeluarkan kepada para tamu. Aku pun minum dan memikirkan siapa dia sebenarnya. Setelah aku cermati ia mempunyai tahi lalat di dekat bibir, sama seperti Lastri. Namun apakah benar Lastri. Aku lihat dua orang anak kecil berlari-larian di hadapan tamu. Mereka sekitar 3 dan 5 tahunan. Kemudian salah satu darinya memeluk orang yang mirip Lastri tersebut.
Menambah aku semakin penasaran. Kalaupun ia Lastri, siapa anak kecil itu pikirku. Hatiku saat itu terasa dilemma terombang- ambingkan. Aku merasa bahwa ia Lastri. Saat itu pula aku mendengar dua orang tetangga yang duduk di belakangku membicarakan anak itu.
“ mbok ya anaknya tu di urusi dulu, masak banyak tamu malah di biarkan lari-larian” seru Bu Kum.
“ yo kareben to buk, wong bukan anaknya kita kok diurusi” jawab suami Bu Kum.
Pikirku dalam hati, berarti dia adalah anaknya. Berarti benar ia adalah anak dari orang yang mirip Lastri. Jika iya mengapa ia tak bersama suaminya. Aku merasa tak karuan siang itu. Hatiku bimbang. Aku terus memikirkan hal itu hingga upacara resepsi selesai.
Semua tamu menyalami pengantin, dan aku memilih untuk tinggal sebentar sambil memastikan siapa ia sebenarnya. Setelah kuperhatikan, wanita itu berjalan mendekatiku. Dengan raut muka yang sedikit senyum ia terus berjalan mendekatiku. Benar, memang benar ia seperti Lastri.
“ Mas Tabah..” sapa dia dengan nada lirih, ia menyalamiku.
“ Lastri..” jawabku pula. Hatiku sungguh tak karuan waktu itu.
“ Mas Tabah pulang ? gimana kabarnya ?” Tanya lastri kembali. Tiba – tiba anak itu kembali memeluk lastri. Sambil mengatakan “ibu..”. Mendengar seorang anak yang memanggil ibunya. Tangan lastri memeluk anak itu. Seketika itu juga, aku tercengang melihat bahwa ia adalah anak Lastri. Rupanya air mataku tak bisa berbohong bahwa hatiku masih sama seperti dulu. Mataku merah dan berlinang, aku coba menahan supaya tidak menetes waktu itu.
“ iya las, mana suamimu”  tanyaku kembali dengan agak lama menjawab dari pertanyaanya.
Lastri tak menjawab pertanyaanku, hanya senyum manis dihadapanku. Rupanya Lastri tau bahwa aku sakit karenanya. Hampir saja air mataku menetes dihadapnya. Lalu aku berpamitan pulang dahulu. Ibuku sengaja aku tinggal karena menyelesaikan pekerjaan belakang. Tak lupa aku mengusap mataku dengan penuh kecewa.
Aku baru tahu kalau Lastri telah bersuami. Tidak ada yang mengabariku. Orang tuaku pun tak mengabariku. Aku pikir Lastri akan setia kepadaku. Tetapi jikalau ia lebih memilih untuk dengan yang lain mungkin itu yang terbaik untuknya. Yah, sekarang aku cuma bisa pasrah, dan selalu tabah dalam menghadapi setiap cobaan hidup ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar