“ Nderek langkung mbok ?”
sapaku kepada Mbok Kasiem ketika jalan kaki untuk pulang.
“ We, nak Tabah to rupanya?
Baru pulang nak ? gimana kabarnya ?” sapa Mbok Kasiem yang terkejut melihat
kedatanganku.
“ Baik mbok, gimana kabar
keluarga juga baik to ?” sapaku kembali.
“baik nak, oalah sekarang udah
jadi orang e, pangling aku” tutur Mbok Kasiem melihatku.
“alhamdulilah mbok, mari mbok
mau pulang dulu”
Keringatku
menetes begitu deras, dengan meneteng tas ransel dan juga kardus. Dengan hati
yang sabar, aku meneruskan perjalanan untuk pulang ke rumah. Sekitar 500 meter
jarak rumahku dengan jalan raya. Terik matahari yang sudah tidak begitu panas, membuatku
ingin segera tiba di rumah.
Suasana kampung halaman yang tidak
banyak berubah pikirku dalam hati. Kampung yang nyaman, teduh, banyak pepohonan
yang rindang. Di tepi tepi jalan banyak sekali dedaunan kering yang jatuh.
Rumputan yang banyak tumbuh dimana-mana. Tak terasa sekitar delapan menit kemudian tibalah aku di rumah.
“Assalamualaikum” sapa ku di
depan rumah.
“tok.. tok.. tok” ku ketuk
pintu rumahku namun rupannya tidak ada yang menjawab kedatanganku. Pintunyapun
dikunci. Segeralah aku duduk di teras depan rumah untuk menunggu anggota
keluargaku yang pulang.
Sedikit berbeda keadaan rumahku pikirku
dalam hati. Tembok rumah yang dahulu masih berbata merah, sekarang sudah
dilapisi dan di cat hijau. Pintu rumah yang masih sama seperti dulu. Burung
peliharaan yang berkicau masih seperti dulu. aku sangat rindu pada kampungku
terutama kepada kedua orang tuaku dan juga adik perempuanku Anis. Hari ini begitu lelah sekali. Perjalanan
sekitar 9 jam dari kota ke desaku. Aku coba untuk memejamkan mataku sebentar
untuk menghilangkan rasa lelah.
Sekitar satu jam kemudian, aku
terbangun karena terdengar adzan Magrib yang berkumandang. Namun hingga saat
itu keluargaku belum ada yang pulang juga. Resah, dimana mereka hingga petang
belum pulang juga. Aku coba untuk bersabar menunggu mereka datang. Tak lama
kemudian terdengar suara motor yang menuju kea rah rumahnya. Rupanya mereka
pulang. Segera aku berdiri dan menyambut mereka.
Terlihat
sepintas bahwa ibuku tidak mengenali aku. Namun setelah Bapak menyetandartkan
motor, ibuku segera menemui ku dan mengenaliku.
“Oalah thole pake…” ibukku lari
menemuiku dan segera memelukku.
“Ibuk pripun, sae to ?” sapaku
kembali kepada ibuku. Bapak dan juga adikku segera datang dan peluk kangen
kepadaku. Segeralah mereka membuka pintu dan aku masuk ke dalam rumah
sederhanaku. Kemudian aku duduk di kursi tamu bersama bapak dan juga Anis.
“Mas.. Mas.. kok pulang nggak
ngomong – ngomong?” Tanya Anis kepadaku.
“yee,,emang pulang harus
ngomong dulu ?” jawabku kembali kepada adikku dengan nada yang agak sembrono.
“Gimana le kabarnya ? rak yo
baik to ? kerjamu gimana ?” Tanya bapak yang memotong pembicaraanku dengan
Anis.
“Baik pak, tapi ya cuma bisa
seperti ini saja.” jawabku.
“Oalah le, wes alhamdulilah
banget, koe bisa kerja sing kepenak, duit le mu ngenehi kae, tak pake buat
ndandani omah”, Bapak menjawab lagi.
“Injih pake, mboten nopo – nopo
kersanipun bapak mawon, saya juga ikut seneng kok”, jawabku lagi.
Tak lama kemudian Ibuku datang
dengan membawakan secangkir teh hangat untuk ku. Kangen sekali rasanya telah 5
tahun tidak minum teh buatan ibuku. Yah, terasa nikmat sekali rasanya ketika
kembali menyantap minuman ini.
“Mbokyo, ntar lagi pak, ben
tole mandi-mandi, solat dulu” seru ibuku terhadap kami.
Selanjutnya aku masuk kedalam kamarku, yang
telah lama pula aku tinggalkan. Masih sama seperti dulu, almari yang
bersebelahan dengan jendela dan meja kecil yang sersandingan dengan tempat
tidurku yang berukuran kecil. Aku coba untuk berbaring sejenak mengenang masa
ketika aku masih berumur lulusan SMA.
“Le, wis tak godhogke wedang
le, mandio dulu !” seru ibuku kembali menyuruhku untuk membersihkan badan.
Aku putuskan untuk membersihkan badan
dahulu kemudian sholat magrib. Air di rumahku sangat dingin sekali, sehingga
keluargaku menggunakan air hangat untuk membersihkan diri. Suasana dalam rumah
yang berbeda dengan dulu. Sekarang lebih bagus, dan nyaman. Dulu yang sering
bocor ketika hujan, sepertinyapun sekarang sudah dibenai bapak. Syukurlah aku
ikut seneng dengan keadaan ini. Setelah sholat selesai rasanya sudah tak sabar
lagi aku ingin segera melepaskan rasa lelahku kembali berbaring di kasur
hangatku. namun sepertinya ibu sudah menyiapkan makanan untuk makan malam
keluargaku.
“Mas, mas Tabah ?” panggil
adikku yang masuk ke kamarku.
“ iya nduk nis, sini mas kangen
je !” seruku menjawab pertanyaan adikku.
“hehe, mas ayo makan dulu ibuk
sudah bikin sayur lho..” jawab adikku kembali.
“iya po nduk, ya wes yok maem
dulu aja?” seruku sambil bangun untuk segera makan.
Aku segera melangkahkan kakiku
untuk mendekati meja makan. Tak lupa aku dengan kardusku yang telah ku isi
dengan makanan kecil, aku serahkan kepada ibuku. Ibuku senang rupanya melihat
aku yang sudah berbeda dengan yang dulu.
“ buk, ini makanan kecil
sedikit, buka aja bu” seruku kepada ibuku.
“ apa to le iki, walah le
abot-abot kok ndandak gowo barang?” jawab ibuku.
“namung sekedik kok bu” jawabku
kembali.
“ nduk tulung abilkan gunting go
bukak iki !” seru ibuku kepada Anis.
Ibuku membuka kardus yang ku
bawa, kemudian memanggil bapak supaya lekas menuju ruang makan untuk makan dan
memperlihatkan apa yang aku bawa. Bapakku senang melihat makanan yang belum
pernah ia makan. Berbeda dengan makanan di kampung ini. Sebakul nasi, lauk pauk
seperti tempe goreng, bakmi, dan sambal sudah tersaji di atas meja. Ada sayur
pula sayur lodeh. Sangat kangen aku dengan masakan buatan ibuku. lama sekali
aku tidak pulang. Kemudian kami menyantap hidangan ibuku malam itu. Sambil
makan malam kami berbincang bincang.
“bu, kok lengkap ini?” tanyaku
sambil bergurau.
“o.. iki ki lauke bekas tadi
siang le, le ngasih tetangga arep nikahan, lha yo le ku nyumbang tadi sore itu
le” jawab ibuku.
“ O, lha yang nikah siapa bu?”
tanyaku penuh penasaran.
“putrane pak Slamet le, sek
wedok ngarep dewe” jawab ibuku kembali
“O yang Krisna itu pa ya bu?”
aku coba menebak.
“ Iyo le, sesok melu wae yo
ngan terin ibuk kesana lagi, aku disuruh rewang e yoan” suruh ibuku kepadaku.
Malam itu aku berbincang
bincang dengan keluargaku. Sebenarnya aku lelah sekali, namun rasa kangenku
terhadap keluargaku juga lebih tinggi rupanya. Aku putuskan untuk ke meja tamu
lagi bersama bapak dan juga Anis. Ibu membawakan makanan kecilyang aku bawa
tadi ke meja tamu, untuk camilan malam itu. Tak terasa jam dinging sudah
menunjukkan jarum sembilan malam. Ibuku menyuruhku untuk segera sholat kemudian
istirahat.
“Le, istirahat dulu sana, capek
to ?”
“iya bu, sebentar lagi”
jawabku.
“durung ngisak juga to le?”
Tanya ibuku.
“belum bu, iya tak ngisak dulu
ya pak, Anis ayo sholat dulu nduk” jawabku.
“yo kono, gek leren-leren sikek
le!” jawab bapakku.
Selanjutnya aku sholat bersama
Anis, kemudian aku masuk ke kamar. Aku berbaring lagi, rupanya malam itu aku
agak sedikit susah tidur. Entah kenapa, apa mungkin karena tempat tidurku yang
berbeda dengan biasanya. Ya, itu juga sedikit faktornya. Aku teringat pada
teman-temanku di kampong. kira-kira kemana mereka, sudah seperti apa dan jadi
apa. Aki ingin sekali bertemu dengan mereka. Aku tertidur dengan sendirinya.
Tak terasa pula hari telah
pagi. Hari itu hari minggu. Aku segera bangun dan sepertinya aku akan
menantarkan ibuku ke resepsi tetanggaku. Aku bersama ibuku pergi ke resepsi
dengan mengendarai sepeda motor
satu-satunya milik keluargaku. Asapnya tebal, berbada dengan motor-motor jaman
sekarang. Ingin rasanya aku membelikan sepeda motor untuk bapakku.
Setibanya aku di tempat
tetanggaku. Ibuku memilih untuk pergi ke dalam rumah, membereskan urusan bagian
dapur. Sedangkan aku memilih untuk duduk di kursi tamu di luar. Aku masuk
namun, aku tak melihat satupun temanku dulu.
“we nak Tabah to, kapan
pulangnya nak ?” Sapa Bu Karsi tetanggaku.
“iya bu, kemarin sore bu”
jawabku.
Kemudian aku disapa dengan
hangat oleh orang-orang yang mengenaliku disana. Yah, disini aku berharap
bertemu dengan teman tebayaku dahulu.
Tak lama kemudian aku
sepertinya melihat seorang wanita yang mirip sekali dengan Lastri. Lastri
adalah orang yang pernah mencintaiku dan kucintai. Tapi kenapa raut mukanya
sudah sedikit tua. Ah bukan, mungkin dia bukan lastri pikirku. Kalaupun iya
pasti dia akan menyapaku dan tak sekeriput itu. Mungkin dia saudaranya Lastri atau
siapalah. Tetapi, kenapa ia ada disini dan sepertinya ia adalah anggota
keluarga dari manten. Aku pikir- pikir siapa dia sebenarnya.
Minuman dan snack dikeluarkan
kepada para tamu. Aku pun minum dan memikirkan siapa dia sebenarnya. Setelah
aku cermati ia mempunyai tahi lalat di dekat bibir, sama seperti Lastri. Namun
apakah benar Lastri. Aku lihat dua orang anak kecil berlari-larian di hadapan
tamu. Mereka sekitar 3 dan 5 tahunan. Kemudian salah satu darinya memeluk orang
yang mirip Lastri tersebut.
Menambah aku semakin penasaran.
Kalaupun ia Lastri, siapa anak kecil itu pikirku. Hatiku saat itu terasa
dilemma terombang- ambingkan. Aku merasa bahwa ia Lastri. Saat itu pula aku
mendengar dua orang tetangga yang duduk di belakangku membicarakan anak itu.
“ mbok ya anaknya tu di urusi
dulu, masak banyak tamu malah di biarkan lari-larian” seru Bu Kum.
“ yo kareben to buk, wong bukan
anaknya kita kok diurusi” jawab suami Bu Kum.
Pikirku dalam hati, berarti dia
adalah anaknya. Berarti benar ia adalah anak dari orang yang mirip Lastri. Jika
iya mengapa ia tak bersama suaminya. Aku merasa tak karuan siang itu. Hatiku
bimbang. Aku terus memikirkan hal itu hingga upacara resepsi selesai.
Semua tamu menyalami pengantin,
dan aku memilih untuk tinggal sebentar sambil memastikan siapa ia sebenarnya.
Setelah kuperhatikan, wanita itu berjalan mendekatiku. Dengan raut muka yang
sedikit senyum ia terus berjalan mendekatiku. Benar, memang benar ia seperti
Lastri.
“ Mas Tabah..” sapa dia dengan
nada lirih, ia menyalamiku.
“ Lastri..” jawabku pula.
Hatiku sungguh tak karuan waktu itu.
“ Mas Tabah pulang ? gimana
kabarnya ?” Tanya lastri kembali. Tiba – tiba anak itu kembali memeluk lastri.
Sambil mengatakan “ibu..”. Mendengar seorang anak yang memanggil ibunya. Tangan
lastri memeluk anak itu. Seketika itu juga, aku tercengang melihat bahwa ia
adalah anak Lastri. Rupanya air mataku tak bisa berbohong bahwa hatiku masih
sama seperti dulu. Mataku merah dan berlinang, aku coba menahan supaya tidak
menetes waktu itu.
“ iya las, mana suamimu” tanyaku kembali dengan agak lama menjawab
dari pertanyaanya.
Lastri tak menjawab pertanyaanku, hanya
senyum manis dihadapanku. Rupanya Lastri tau bahwa aku sakit karenanya. Hampir
saja air mataku menetes dihadapnya. Lalu aku berpamitan pulang dahulu. Ibuku
sengaja aku tinggal karena menyelesaikan pekerjaan belakang. Tak lupa aku
mengusap mataku dengan penuh kecewa.
Aku baru tahu kalau Lastri
telah bersuami. Tidak ada yang mengabariku. Orang tuaku pun tak mengabariku. Aku
pikir Lastri akan setia kepadaku. Tetapi jikalau ia lebih memilih untuk dengan
yang lain mungkin itu yang terbaik untuknya. Yah, sekarang aku cuma bisa
pasrah, dan selalu tabah dalam menghadapi setiap cobaan hidup ini.